Kamis, 11 September 2008

Pembentukan Moral Anak Diawali dari Orangtua

Dunia anak-anak sarat dengan pembelajaran. Tidak heran jika mereka berprilaku salah. Tugas orangtua adalah membimbing dan mengingatkan. Hal itu juga terkait dengan pembentukan moral dalam diri anak.

Bisa saja anak sudah memahami prilaku yang benar, namun belum tentu dia akan berperilaku sesuai pemahamannya itu. Sebab, mengetahui dan berperilaku benar, bagi anak merupakan dua hal yang berbeda.

Penulis buku Building Moral Intelligence: The Seven Essential Virtues That Teach Kids to Do the Right Thing, Dr. Michele Borba, mendefinisikan kesadaran (conscience) sebagai pengetahuan tentang yang benar dan berperilaku berdasarkan pengetahuan akan yang benar itu.

Terjadinya tawuran, vandalism, pelanggaran aturan, atau perusakan lingkungan, menunjukkan tidak adanya kesadaran pada seseorang atau sebagian masyarakat.

“Anak harus belajar hal ini sejak kecil,” saran Michele, peraih penghargaan untuk pendidikan moral anak.

Pengajar di Bagian Psikiatri, ilmu-ilmu Perilaku dan dokter anak dari Universitas George Washington, Amerika Serikat, Stanley Greenspan MD menyebutkan dua elemen kesadaran pada proses pembentukan moral.

Elemen pertama kesadaran yaitu mengenali. Anak mengenali prilaku tertentu itu salah. Elemen kedua adalah pengendalian diri. Anak mengendalikan diri untuk tidak melakukan hal yang salah

Sementara itu, Prof. Dr. Sarlito W. Sarwono, Psi dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia mengatakan, moral merupakan kumpulan adat dan kebiasaan yang bisa dilihat dari sesuai yang konkrit, misalnya menolong adik adalah perbuatan baik, sebaliknya menyakiti binatang adalah perbuatan tidak baik.

“Moral merupakan sesuatu hal yang bisa diajarkan. Moral membantu memilih bukan hanya yang benar tetapi yang baik,” ujar Sarlito dalam artikel “Mengasah Moral Anak” yang dirilis oleh Dancow Parenting Center.

Sarlito juga mengatakan, moral berkembang juga dari logika dan penalaran. Sehingga penjelasan mengenai mengapa dan kenapa, diskusi serta keterbukaan terhadap berbagai pandangan sangat berperan dalam pembentukan moral.

“Faktor yang mempengaruhi pembentukan moral, ialah pola pengasuhan orangtua, norma dan budaya, pendidikan, pergaulan dan kepribadian,” tutur Sarlito.

Norma sosial yang pertama kali dikenal anak yaitu melalui orangtua. Oleh karena itu, sangat penting dalam perkembangan moral anak, belajar alasan dari hal-hal yang boleh atau tidak dan hal yang baik atau buruk.

“Kemudian, semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin tinggi juga kemungkinan pemahaman terhadap moralitas. Walaupun, tidak otomatis menjami terjadinya perilaku bermoral,” tegas Sarlito.

Anak yang memiliki kepribadian terbuka dan fleksibel, terang Sarlito, umumnya akan lebih mudah bersosialisasi sehingga semakin banyak pengalaman sosial yang dialami yang semakin mengasah moralnya.

Lalu, lanjutnya, melalui pergaulan dengan lingkungan sekelilingnya, misalnya memiliki teman dekat dan sering terlibat dalam obrolan dan diskusi dengan teman akan membuka pandangan sehingga anak makin terasah moralnya.

Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa praktek pengasuhan anak dalam lingkungan yang kondusif dan gaya orang tua sebagai pendidik moral memberi peran penting dalam menumbuhkan perilaku etis.

Perilaku orang tua sehari-hari terhadap tetangga, pembantu rumah tangga, binatang peliharaan, pilihan bacaan, pilihan tayangan televisi, dan tanggapan orangtua terhadap masalah moral seperti anak berbohong pada teman, diperhatikan dan dipelajari anak dengan sungguh-sungguh. (republika)

Memperkenalkan Ibadah Puasa Kepada Anak

Tak lama lagi umat muslim akan memasuki bulan suci Ramadhan. Berpuasa di bulan itu, hukumnya adalah wajib. Tak terkecuali anak-anak.


Merujuk ajaran yang memerintahkan orangtua agar menyuruh anak-anaknya shalat mulai usia tujuh tahun, Pakar Pendidikan Anak Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam buku Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam mengatakan, dari perintah shalat, maka dapat disamakan dengan puasa dan haji.

Sebenarnya anak sudah bisa diperkenalkan dengan berbagai kegiatan agama termasuk berpuasa sejak usia batita (bawah tiga tahun). Perkenalan terhadap kegiatan puasa mulai dari kesiapan, pemahaman hingga memahami rutinitas.

Kemudian, ketika menginjak usia empat tahun, anak sudah mulai bisa diajarkan berpuasa dalam arti menahan lapar dan haus untuk waktu beberapa jam. Umumnya, pada anak usia lima tahun sudah mampu berpuasa hingga siang hari.

Hal tersebut bertujuan untuk mengajarkan anak mengenai pemaknaan puasa tahap awal. Sehingga ketika anak menginjak usia sekolah dasar (SD), sudah bisa memperdalam pemaknaan puasa. Mereka juga sudah bisa diharapkan berpuasa sehari penuh.

Pada anak usia SD juga sudah bisa diberi pengertian mengenai makna berpuasa dari aspek sosial. Misalnya, puasa menumbuhkan empati. Agar seseorang mengetahui bagaimana keadaan orang lain yang kurang beruntung tidak dapat makan.

Tips Mengenalkan Berpuasa

  • Perkenalkan kepada anak kegiatan beragama, termasuk berpuasa, sejak usia dini. Usia batita dianggap paling pas membiasakan anak dengan kesiapan, pemahaman sederhana dan rutinintas puasa.

  • Berikan pemahaman sederhana yang dapat dikonkritkan sementara anak masih berusia balita. Sesuaikan dengan pemikiran anak yang masih sulit mengembangkan sesuatu yang bersifat konseptual.

  • Jangan memberatkan anak dengan memberlakukan puasa diatas kemampuannya. Jeli dalam melihat kemampuan dan kondisi anak. Jika anak baru mampu berpuasa sekitar 2-3 jam, biarkan untuk beberapa waktu. Secara perlahan, tambah waktu anak berpuasa.

  • Berikan anak penghargaan ketika dia mampu berpuasa. Penghargaan tidak selalu berbentuk materi, pujian juga dapat memacu anak untuk selalu meningkatkan kemampuannya.

  • Senantiasa lakukan pendekatan persuasif terhadap anak disertai pemahaman dan kontrol yang disesuaikan dengan usia. Selamat Berpuasa! (republika)

Bersih Diri Bersih Lingkungan

Kebersihan adalah bagian dari iman. Kalimat yang merupakan bagian hadist Rasulullah SAW dari Abu Malik Al-Harits bin Ashim Al-Asy’ari r.a. itu seakan membenarkan pentingnya kebiasaan hidup bersih.


Tidak hanya orang dewasa yang wajib menjaga kebersihan, anak-anak pun demikian. Namun, mengajarkan kebiasaan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Terutama, jika si kecil masih sering melihat banyak orang dewasa yang dengan mudahnya membuang sampah di jalan. Padahal ada berbagai manfaat dari mengajarkan anak

Untuk efek jangka pendek, anak akan mengerti apa yang harus dilakukan untuk menjaga kebersihan diri. Anak pun bisa merasakan secara langsung, dengan selalu menjaga kebersihan diri dia akan lebih segar.

Sementara itu, dari sisi psikologis, akan membantu menumbuhkan rasa percaya diri anak, mengasah keterampilan motorik, dan memperbanyak pengetahuan soal kesehatan.
manfaat anak menjaga kebersihan ialah badannya yang selalu bersih dan tak mudah diserang penyakit.

Anak yang sudah biasa melakukan bersih-bersih diri, umumnya juga akan bersih terhadap lingkungan. Dia tidak mau buang sampah sembarangan dan rajin bersih-bersih, minimal kamarnya. Namun, tetap harus diingat bahwa orangtua harus bisa memberikan teladan yang baik mengenai kebersihan anak.

Orangtua perlu disiplin menerapkan aturan-aturan, seperti ketika masuk rumah harus cuci kaki dan tangan. Kemudian, menggosok gigi sebelum tidur, mandi harus membersihkan seluruh tubuh, mengganti baju yang sudah dipakai di luar rumah dan lain-lain. Jangan jemu-jemu mengingatkan anak untuk menaati itu semua agar terbiasa menerapkan hidup sehat. (ri)


Tips Mengajarkan Anak Kebersihan

Kiat-kiat yang harus digunakan untuk mengajak seluruh anggota keluarga termasuk anak-anak menjaga kebersihan diri dan lingkungan.

  1. Gunakan kata-kata yang lembut dan tenang dalam meminta mereka melakukan kegiatan kebersihan. Jangan mengancam atau merendahkan.
  2. Anak cenderung meniru tindakan yang dilakukan orangtua. Jadi, hindari membuang sampah sembarangan atau meludah seenaknya.
  3. Buatlah kegiatan menjaga kebersihan sebagai sesuatu yang menyenangkan dan membuatnya nyaman.
  4. Buat penyesuaian yang diperlukan ketika mengajak anak membersihkan diri. Ajak anak untuk menyikat gigi dengan rasa yang disukainya. Atau, pakailah sampo yang tidak perih dimata dan wangi untuk menarik perhatiannya.
  5. Memotong kuku, membersihkan telinga dan hidung juga tak bisa dipisahkan dari kegiatan menjaga kebersihan tubuh.
  6. Untuk anak usia sekolah dasar, orangtua bisa mulai membiasakan anak untuk mencuci sendiri alat makannya setiap kali selesai makan dan minum.
  7. Untuk menjaga kebersihan rumah, bagilah tugas sesuai dengan usia, sifat dan ketrampilan anggota keluarga. Misalnya, anak usia 3 tahun dapat membantu mengelap meja atau kursi, anak usia 7 tahun bertugas membuang sampah dan sebagainya.
  8. Jangan lupa bersihkan kandang dan binatang peliharaan secara teratur. Periksakan juga kesehatan binatang peliharaan secara berkala ke dokter hewan.
  9. Beri penghargaan dan perhatian bagi setiap anggota keluarga telah menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Misalnya, peluk anak Anda dan ucapkan pujian atas keahlian barunya mencuci gelas. Ucapkan pula terimakasih atas bantuannya. (republika)

Mempersiapkan anak masuk TK

Bibit (5 tahun) melongok ke kiri dan ke kanan. Kertas origami berwarna merah itu dikibas-kibaskannya. Sementara teman di kiri-kanannya melipat dengan asyik.''Ayo Bibit, lipat ...,'' kata Bu Guru menghampirinya. Dengan sabarnya Bu Guru mengajari Bibit melipat-lipat kertas.

Bila ibu guru menjelaskan di depan kelas, Bibit sering kebingungan. Bagai orang tersesat. Tapi, ia tak sendiri. Beberapa temannya juga begitu. Ibu Bibit kesal. Pasalnya, ia tahu benar Bibit sudah bisa banyak hal di rumah. Tapi, mengapa ia tak bisa unjuk kemampuan? ''Gurunya sih, nggak sabar ngasih instruksi. Anak-anak kan jadi bingung,'' keluh Ibu Bibit kepada orangtua lain.

Bu Guru tak sabar? Mungkin. Bu Guru berbicara terlalu cepat? Mungkin juga. Tapi, sejumlah pakar mengingatkan dari sudut lain. Satu hal yang penting dimiliki anak saat mulai masuk sekolah, kata mereka, adalah keterampilan mendengarkan dan menyimak. Keterampilan mendengar dan menyimak amat penting bagi anak prasekolah berusia 3-4 tahun untuk bisa berhasil di sekolah. Anak yang bisa mendengarkan dengan baik, mengikuti instruksi, akan berhasil dalam setting sekolah. Anak prasekolah yang bisa mengikuti instruksi akan lebih siap mendemostrasikan keterampilan akademiknya di TK.

Dengar sampai selesai

Pada usia prasekolah anak biasanya memang sulit mendengarkan instruksi, pembicaraan dengan baik. Mengapa? Itu karena rentang perhatian mereka masih rendah. ''Kemampuan melihat, mendengar, dan menyimak anak usia prasekolah sekitar 4 sampai 5 menit saja, setelah itu mereka akan kembali asyik dengan dunia mereka,'' kata psikolog Rahmi Dahnan.

Menurut psikolog dari Yayasan Kita dan Buah Hati itu, bila ingin anak menangkap pembicaraan 90 persen atau 100 persen berarti metode bercerita kita harus mengikuti tahapan perkembangan kognitifnya. ''Yakni, tingkat konsentrasi si anak itu sendiri,'' tambah dia. Karena itu, Rahmi menyarankan, bila ayah bunda ingin sang anak mendengarkan ataupun menyimak apa yang dibicarakan sebaiknya bicara tidak terlalu cepat. ''Berbicara dengan anak itu sebaiknya pelan-pelan jangan terburu-buru, karena semakin cepat kita berbicara, maka mereka akan semakin sulit mencerna apa yang kita bicarakan,'' tuturnya.

Kecepatan orang berbicara berbeda. Meski guru dibekali pengetahuan berbicara di depan anak usia muda, namun kerap kali anak-anak sulit memahami ucapan 'orang baru'. Untuk itu orangtua sebaiknya mempersiapkan atau mengajarkan anak untuk bisa mendengarkan, menyimak pembicaraan orang dengan baik sedari usia prasekolah. Ada berbagai cara pembiasaan ini.

Salah satunya, Rahmi mencontohkan, saat berjalan-jalan dengan anak di kebun binatang. Bila anak bertanya tentang jenis-jenis burung dan lain sebagainya, maka buat kesepakatan terlebih dahulu sebelum menjawab ataupun menjelaskan pertanyaan mereka. ''Ayah/Ibu akan menjelaskan tapi kalian jangan memotong pembicaraan sebelum selesai,'' tutur Rahmi. Dan, beritahukan juga konsekuensi bila ia melanggar kesepakatan tersebut. Apa konsekuensinya? Ayah atau ibu tak akan melanjutkan penjelasan kepada mereka.

Bertahap dan berulang
Dengan cara seperti itu, jelas Rahmi, anak akan belajar mendengarkan dan menyimak dengan baik. Namun, terkadang orangtua sering melakukan kesalahan. Misalnya, tidak mengupayakan komunikasi yang baik. Komunikasi yang buruk itu yaitu metode atau cara penyampaiannya tidak tepat. Contohnya berbicara dengan nada tinggi ataupun berbicara terlalu cepat sehingga anak sulit mencerna apa yang sebenarnya yang di sampaikan.

''Sampaikan penjelasan kita dengan bertahap atau sepotong-sepotong,'' kata lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini. Selain itu, orangtua juga harus memberikan penjelasan dengan berulang-ulang agar anak selalu mengingatnya. Dengan kedua cara itu, anak akan lebih mudah mengerti. Tapi, Rahmi mengingatkan kesalahan yang kerap dilakukan orangtua. ''Jangan paksa anak untuk terus mendengarkan pembicaraan kita dalam waktu yang cukup lama,'' kata dia. Karena itu, sarannya, bila anak tak ingin mendengarkan sebaiknya biarkan sejenak setelah itu barulah orangtua berusaha menjelaskan kembali.

''Beri anak kesempatan untuk berbicara dan sebaiknya orangtua mendengarkan juga apa yang mereka bicarakan.''Selain metode atau cara penyampaian yang baik faktor lingkungan juga berpengaruh dalam penerimaan pesan yang disampaikan pada anak. Rahmi mengingatkan para ayah bunda agar menjelaskan sesuatu kepada anak di lingkungan yang ramai. Sebab, fokus anak akan lebih rentan terbagi di banding pesan yang sama disampaikan di tempat yang tidak terlalu ramai.

Belajar Menyimak Lewat 3 Cara
Orangtua bisa melatih anak mendengarkan dan menyimak dalam berbagai kesempatan setiap hari. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan melalui kegiatan sebagai berikut:

-Tugas sehari-hari
Mendengarkan instruksi dan mengikutinya adalah keterampilan yang dipelajari. Gunakan tugas-tugas rumah tangga sebagai kesempatan melatih mendengarkan dan mengikuti instruksi. Awali dengan tugas sederhana satu langkah. Lalu dua, dan tiga langkah. Satu langkah: ''Ambillah sepatumu.'' Dua langkah : ''Ambil sepatumu dan masukkan ke dalam kamarmu.'' Tiga langkah: ''Ambil boneka di atas meja itu, pergi ambil sepatumu, lalu masukkan keduanya di dalam kamarmu.''

-Mendongeng
Anak usia prasekolah umumnya punya cerita favorit. Berpura-puralah lupa ceritanya dan minta mereka menyampaikan cerita itu pada Anda. Gunakan antusiasme cerita ini untuk membangun keterampilan mendengarkan. Ceritakan tentang masa prasekolah Anda. Minta ia mengulangi cerita itu. Bicarakan tentang detail spesifik untuk mendorong anak mendengar lebih teliti. Kenali anak Anda, sediakan waktu untuk mendogeng cerita yang cocok dengan kepribadian mereka.

-Permainan
Anak usia prasekolah belajar cara memainkan permainan dengan mendengarkan dan mengamati. Gunakanlah permainan dengan papan seperti ular tangga. Bacalah dan jelaskan aturannya pada si kecil. Ini memberikan kesempatan pada anak untuk mempraktikkan keterampilan mendengarnya. Sebagian besar anak usia prasekolah akan harus mendengar aturan secara berulang untuk mengingat dan memahaminya.

Sumber: Republika

Ajari Anak Bagian Tubuh dan Fungsinya

Pendidikan mengenai tubuh adalah hal kecil yang seringkali terlupakan orangtua, padahal sangat penting bagi anak.

Banyak anak meranjak dewasa hanya mengetahui sedikit tentang tubuh mereka bahkan ada yang tidak tahu sama sekali. Jika diabaikan, hal tersebut dapat menjadi pemicu masalah kesehatan di masa yang akan datang.

Jauh sebelum anak belajar bagian tubuh melalui pelajaran biologi di bangku sekolan menengah pertama (SMP), orangtua bisa menjadi guru pertama yang terbaik dan paling informatif.

Anda bisa menyebutkan satu per satu bagian tubuh. Kemudian, tindakan apa yang harus dilakukan serta bagaimana anak mengatur bagian tubuh tersebut. Sayangnya, yang sering menjadi penghalang justru tidak semua orang tua tahu bagian tubuh mereka sendiri.

Jika Anda termasuk orangtua semacam itu, jangan malu. Tidak ada satupun orang yang terlahir dengan pengetahuan tentang bagian tubuhnya.

Langkah awal untuk mengajari anak adalah dengan ajarkan diri anda lebih dahulu, atau yang lebih baik belajarlah bersama anak anda. Kegiatan itu bisa mengajarkan anak akan pepatah lama "tidak ada kata terlambat untuk belajar sesuatu hal yang baru".

Orangtua pada umumnya memfokuskan untuk memulai dari dalam tubuh. Untuk mengajarkan suatu hal pada anak hindari penggunaan kata-kata yang terlalu rumit dan ekstrim seperti menjijikan atau menakutkan.

Anda tidak ingin anak anda takut untuk mempelajari bagian tubuh. Tunujukanlah pada mereka tubuh adalah sesuatu yang lucu dan mengagumkan.

Pilihlah sumber-sumber seperti buku dengan isi yang ringan untuk menjadi bahan ajar. Jika anak terlihat bosan dan kecewa, sisihkan dahulu buku yang pertama dan cobalah untuk mencari buku lain yang tidak terlalu rumit.

Sebagian anak mungkin akan santai dan senang mempelajari bagian dalam tubuh, tapi ada juga yang pusing bahkan pingsan melihat bagian dalam tubuh. Awasi anak dengan baik dan jangan tertawakan atau mengkritik anak jika mereka menampakan respon yang negatif.

Lanjutkan Dengan Bagian Tubuh Pribadi

Hal lain yang ada di pikiran orang tua adalah bagaimana memperlakukan bagian tubuh yang pribadi. Jangan pernah menafikan bagian itu. Cobalah dengan cara terbaik untuk menjelaskan yang sesungguhnya.

Katakan bahwa bagian tubuh tersebut adalah alami, mempunyai nama yang khas dan mempunyai fungsi masing-masing. Jika hal ini sulit dilakukan, coba untuk berlatih terlebih dahulu tanpa anak, sehingga anda dapat menyiapkan pikiran Anda.

Ingatlah, akan sangat mungkin anak anda merasa tidak nyaman dan bahkan memberikan respon atau konotasi negatif terhadap bagian tersebut.

Coba hindari kemungkinan itu, dengan menjelaskan bagian tubuh pribadi sewajarnya dan menarik. Pada waktu yang sama jelaskan juga pada mereka bahwa tidak pantas membicarakan bagian tubuh pribadi dengan orang lain, juga untuk menunjukan dan membiarkannya disentuh oleh orang lain. (saferchild.or/cr1/ri)


Tips

  • Salah satu cara terbaik untuk memulai mengajarkan anak mengenai bagian tubuh, yaitu dengan menggambar tubuh mereka di kertas.
  • Selanjutnya Anda dan anak dapat menggambar bagian tubuh, menamai dan membahasnya mengenai apa yang seharusnya mereka lakukan pada masing-masing bagaian tubuh tersebut.
  • Anak sudah besar mampu menggambarkan kerangka atau membedakan wanita dan pria lalu mewarnainya dan memberikan nama pada bagian tubuh.
  • Anda juga dapat seolah-olah membedah tubuh per bagian. Sehingga dapat membahas bersama anak bagian mana yang vital bagi tubuh dan bagaimana memperlakukannya sebaik mungkin. (Republika)

Selasa, 09 September 2008

Melatih Anak Berpuasa Sedini Mungkin

ImageTidak ada standar usia yang pasti kapan anak sudah mampu ikut berpuasa. Dalam bidang medis, bayi setiap 4 jam harus makan. Seiring usianya bertambah, pengosongan lambung mulai bisa lebih lama, yaitu mencapai 8 jam, kemudian 12 jam dan seterusnya. Kadang ada anak yang umur 6 tahun sudah kuat berpuasa tapi kadang ada anak yang berumur lebih besar dari itu namun belum kuat untuk berpuasa. Semua tergantung kepada bagaimana membangun mental psikologis anak sejak dini. Semakin dini orang tua mendidik mental psikologis anak semakin cepat pula ia mampu untuk berpuasa.

Puasa bagi anak-anak bukan hanya menahan lapar dan haus tapi yang utama adalah mengkondisikan mental psikologisnya. Yaitu bagaimana anak mempunyai niat dan kesadaran sendiri untuk berpuasa. Jadi anak berpuasa bukan karena paksaan atau tekanan dari orang tua. Membangun mental psikologis anak, bisa dilatih sedini mungkin. Diawali dengan mengajak anak untuk ikut bangun saur dan biarkan ia melihat aktifitas keluarganya di saat saur dan merasakan nikmatnya kebersamaan. Kalau hari biasanya ketika makan pagi si anak jarang bahkan mungkin tidak pernah melihat seluruh anggota keluarga makan bersama. Di saat saur itu, anak akan melihat bagaimana semua anggota keluarga walaupun mengantuk tetapi tetap memaksakan diri untuk bangun dan makan bersama di satu meja.

Menjelang pagi, rutinitas berjalan seperti biasa. Tapi si anak merasakan ada yang lain kali ini. Ibu, Ayah atau kakak-kakaknya tidak ada yang sarapan pagi. Bahkan sampai siang ia tetap tidak melihat seorang pun makan. Bila saat buka puasa tiba. Dia akan melihat bagaimana semua anggota keluarga berkumpul lagi. Bagaimana nikmatnya ketika seharian menahan lapar, lalu berbuka bersama dengan aneka makanan yang belum tentu ada pada hari biasa.

Pengalaman-pengalaman dan kebiasaan-kebiasaan yang dilihat dan dirasakan oleh anak inilah yang akan membangun psikologis ia nantinya. Karena faktor psikologislah yang berperan penting untuk mengatur kapan ia ingin berpuasa, sampai berapa lama, dsb. Umur tidaklah menjadi ukuran saklak. Jadi, biarkanlah anak yang merasakan sendiri nikmatnya berpuasa, tanpa adanya tekanan dari orang tua. Kita sebagai orang tua cukup memberi contoh yang baik kepada mereka.

* Dr. Indragiri

Selasa, 20 Mei 2008

Kekerasan Terhadap Anak

Secara fitrah Allah telah menganugerahkan rasa kasih dan sayang orangtua kepada anaknya sebagai modal awal untuk melakukan pengasuhan dan pendidikan anak. Namun, tidak jarang orangtua melakukan tindakan-tindakan yang “sedikit keras”, “keras”, bahkan “keras sekali” alias “bengis” dengan alasan “karena sayang kepada anak” atau dengan dalih “mendisiplinkan anak”. Anak kadang dicubit, ditarik tangannya dengan kasar, dijewer, dijambak rambutnya, ditempeleng kepalanya, disundut rokok, dipukul, diikat, dibenturkan ke tembok dan lain-lain ketika tidak menurut perintah orangtuanya.Kekerasan Terhadap Anak dalam Pandangan KapitalisKekerasan terhadap anak dapat disebabkan oleh berbagai macam, antara lain: Orangtua tidak memahami cara-cara mendidik dan mengasuh anak yang sesuai dengan tahapan perkembangan anak, faktor kemiskinan, kurang komunikasi, ketidakmampuan mengendalikan emosi, ketidakharmonisan antar anggota keluarga, ketidaktegasan sistem dalam menerapkan hukuman pada pelaku kekerasan anak, orangtua mabuk dan lain-lain.Bagaikan pahlawan kesiangan, kaum kapitalis, dengan dalih “peduli” terhadap perlindungan anak, memperjuangkan disahkannya UU no. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA), juga UU PKDRT. Pengertian kekerasan dalam Pasal 3 UU PA dan diperjelas dalam Bab III pasal 5 UU PKDRT adalah meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran. Pasal ini adalah pasal karet yang bisa ditarik untuk menjerat sasaran. Seseorang anak yang “merasa diperlakuan dengan kekerasan” dalam konteks UU tersebut bisa melapor kepada pihak yang berwajib atau bisa melalui lembaga bantuan hukum untuk memproses perkaranya. Pasal tersebut bisa menjerat orangtua Muslim yang memberikan tindakan yang tegas pada saat anak tidak mau menjalankan hukum-hukum syariah. Ketidaktaatan anak didasarkan pada alasan “kebebasan menentukan pilihan” dan diperkuat lagi pada pasal 16 ayat 2 yang berbunyi, “setiap anak berhak mendapatkan kebebasan sesuai dengan ‘hukum’ (buatan manusia)”; misal anak tidak mau shalat, padahal usia sudah lebih 10 tahun. Anak tersebut bisa mengadukan bapak atau ibunya atau siapapun pelakunya yang dianggap “memaksa melakukan sesuatu” agar dihukum dengan pidana 5 tahun atau denda paling banyak 15 juta. Sebab, menurut pengertian UU produk manusia tersebut, orangtua telah melakukan kekerasan.Jelas bahwa adanya UU tersebut akan menghambat orangtua dalam mendidik anaknya dengan nilai-nilai Islam. Padahal orangtua oleh Allah telah diberi kewajiban untuk mempersiapkan anaknya sehingga ketika balig, anak telah siap menerima dan melaksanakan semua beban hukum sebagai mana orangtuanya.Bagaimana sebenarnya Islam memandang persoalan ini?Islam Mengutamakan KelemahlembutanRasul yang mulia, Muhammad saw. telah memberikan teladan yang sangat mengagumkan dalam mendidik anak. Beliau mengutamakan kelemahlembutan. Dalam sebuah hadis diriwayatkan:Suatu hari Rasul didatangi oleh seorang Ibu (Sa’idah binti Jazi) yang membawa serta anaknya yang baru berumur satu setengah tahun. Kemudian anak tersebut diminta oleh Rasulullah. Anak tersebut mengompol/kencing. Karena mungkin segan anaknya telah mengotori Rasul maka ibu tersebut dengan agak kasar menarik anaknya dari pangkuan Rasul. Seketika itu Rasul menasihati Ibu tersebut, “Dengan satu gayung bajuku yang najis karena kencing anakmu bisa dibersihkan, tetapi luka hati anakmu karena renggutanmu dari pangkuanku tidak bisa kamu obati dengan bergayung-gayung air.”Dalam riwayat lain dikemukakan:Suatu hari Rasul sedang memimpin shalat berjamaah dengan para Sahabatnya, Salah satu sujud dalam shalat yang dia lakukan cukup lama waktunya sehingga mengundang keheranan para Sahabat. Setelah shalat berjamaah selesai, salah seorang Sahabat bertanya, “Mengapa begitu lama Rasul bersujud?” Jawab Rasul, “Di atas punggungku sedang bermain cucuku Hasan dan Husain. Kalau aku tegakkan punggungku maka mereka akan terjatuh. Karena itu, aku menunggu mereka turun dari punggungku, baru aku cukupkan sujudku.”Dari hadis di atas Islam/Nabi saw. memberi pelajaran bagi orangtua/pendidik agar dalam melakukan pendidikan mengedepankan sikap lemah-lembut serta penuh cinta, kasih dan sayang. Perlakuan keras/tegas kepada anak akan membawa pengaruh buruk yang luar biasa pada perkembangan kepribadiannya di kemudian hari. Pengaruh tersebut antara lain anak akan “pandai” berperilaku kasar kepada yang lain, pemarah, tumpul hati nuraninya (menghambat perkembangan moral anak, merusak kesehatan jiwa anak), anak dapat terlibat perbuatan kriminal, anak gemar melalukan teror dan ancaman (anak akan mencari target untuk melampiaskan rasa dendamnya), anak menjadi pembohong, anak jadi rendah diri, menimbulkan kelainan perilaku seksual, mengganggu pertumbuhan otak anak, terhambat prestasinya di sekolah, sering ngompol, takut, tidak mau makan dan lain-lain.Pandangan Islam Terhadap Kekerasan pada AnakDengan kasih-sayang Rasul bukan berarti kehilangan kewibawaan dan kehilangan ketegasan atau lembek ketika memang harus tegas. Tegas tidak identik dengan kasar. Sebagai contoh, Rasul pernah menjewer telinga anak karena tidak amanah. Diriwayatkan oleh Imam Nawawi dari Abdullah bin Basr al-Mazni ra. yang berkata, “Aku pernah diutus ibuku dengan membawa beberapa biji anggur untuk disampaikan kepada Rasul. Kemudian aku memakannya sebelum aku sampaikan kepada Beliau. Ketika aku mendatangi Rasul, Beliau menjewer telingaku sambil berseru, ‘Wahai Penipu’.”Anak-anak memang perlu kedisiplinan. Kedisiplinan bisa diraih tanpa adanya kekerasan, namun bukan berarti terlarang melakukan tindakan fisik. Kedisiplinan diperlukan untuk mendidik anak terbiasa terikat dengan standar-standar Islam dalam berbagai aspek kehidupan sehingga mereka pada saatnya dapat bertanggung jawab di hadapan Allah Swt.Kedisiplinan dibentuk dengan memberikan pemahaman yang melahirkan kesadaran untuk menerapkannya dan semua itu memerlukan proses. Penanaman disiplin pada anak bisa berhasil jika orangtua mengenal karakteristik anak dan mampu membangun komunikasi serta hubungan yang harmonis dengan anak.Dalam mendidik anak diperlukan sanksi (hukuman). Pemberian hukuman merupakan salah satu cara dalam mendidik anak jika pendidikan tidak bisa lagi dilakukan dengan memberi nasihat, arahan, petunjuk, kelembutan ataupun suri teladan.Islam “membolehkan” melakukan tindakan fisik sebagai ta’dîb (tindakan mendidik) terhadap anak. Ibnu Amr bin al-’Ash menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍPerintahlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun. Pukullah mereka jika sampai berusia sepuluh tahun mereka tetap enggan mengerjakan shalat. (HR Abu dawud dan al-Hakim).Dalam hadis ini Rasul menggunakan ungkapan murruu (perintahkanlah) untuk anak usia di bawah 10 tahun dan idhribuu (pukullah) untuk usia 10 tahun. Dengan demikian, sebelum seorang anak menginjak usia 10 tahun, tidak diperkenankan menggunakan kekerasan dalam masalah shalat, apalagi dalam masalah selain shalat, yaitu dalam proses pendidikan. Mendidik mereka yang berusia belum 10 tahun hanya dibatasi dengan pemberian motivasi dan ancaman.Kebolehan memukul bukan berarti harus/wajib memukul. Maksud pukulan/tindakan fisik di sini adalah tindakan tegas “bersyarat”, yaitu: pukulan yang dilakukan dalam rangka ta’dîb (mendidik, yakni agar tidak terbiasa melakukan pelanggaran yang disengaja); pukulan tidak dilakukan dalam keadaan marah (karena dikhawatirkan akan membahayakan); tidak sampai melukai atau (bahkan) membunuh; tidak memukul pada bagian-bagian tubuh vital semisal wajah, kepala dan dada; tidak boleh melebihi 10 kali, diutamakan maksimal hanya 3 kali; tidak menggunakan benda yang berbahaya (sepatu, bata dan benda keras lainnya).Memukul adalah alternatif terakhir. Karena itu, tidak dibenarkan memukul kecuali jika telah dilakukan semua cara mendidik, memberi hukuman lainnya serta menempuh proses sesuai dengan umur anak. Rasulullah saw. pernah bersabda, “Nafkahilah keluargamu dengan hartamu secara memadai. Janganlah engkau angkat tongkatmu di hadapan mereka (gampang memukul) untuk memperbaiki perangainya. Namun, tanamkanlah rasa takut kepada Allah.” (HR Ahmad, Ibnu Majah dan al-Bukhari dalam kitab Al-Adab al-Mufrad).Alhamdulillah. Allâhu a‘lam bi ash-shawâb. []